Berangkat Penempatan
06.14
Halo teman-teman
pembaca setia lama yang sudah lama sekali tidak kuperbarui ini! Hehe
Senang sekali rasanya, akhirnya punya me-time
buat nulis-nulis di catatan kecil virtualku ini 😊
Banyaak sekali cerita yang hendak kusampaikan, tetapi
akhirnya mengendap dalam memori. Nah, karena aku tak ingin kehilangan memori
lagi, maka kini aku dokumentasikan memori-memori ini satu persatu dalam laman
ini. Kali ini aku akan bercerita tentang
keberangkatanku ke Provinsi Sulawesi Barat. Provinsi yang aku tidak pernah terbayangkan
bahwa kini aku ‘kan berada di Ibu Kota-nya ketika aku menuliskan kisah
ini.
Perjalanan itu, dimulai dari Jalan Otista No.64C, Jakarta Timur. Barang-barangku masih aku bongkar-muat karena takut sekali kelebihan bagasi ketika di bandara nanti. Beberapa lembar uang ratusan ribu aku keluarkan dari amplop berlogo Badan Pusat Statistik. Beberapa uang perjalanan dari kantor aku sisihkan, barangkali ada rupiah yang harus aku bayarkan atas kelebihan bagasiku nanti.
Perjalanan itu, dimulai dari Jalan Otista No.64C, Jakarta Timur. Barang-barangku masih aku bongkar-muat karena takut sekali kelebihan bagasi ketika di bandara nanti. Beberapa lembar uang ratusan ribu aku keluarkan dari amplop berlogo Badan Pusat Statistik. Beberapa uang perjalanan dari kantor aku sisihkan, barangkali ada rupiah yang harus aku bayarkan atas kelebihan bagasiku nanti.
Jam dinding hijauku telah menunjukkan pukul 3
pagi. Pertanda bahwa aku
harus segera bergegas karena keberangkatan kami pagi itu adalah pukul 07.15
WIB. Segera aku bersiap dan pasrah mengeluarkan beberapa pakaian yang aku pikir
tidak terlalu urgent untuk kubawa ke
daerah dalam beberapa waktu ke depan. Ya, aku takut kehabisan pakaian karena
aku hanya membawa beberapa potong pakaian saja. Sementara itu, pakaianku yang
lain sudah aku kirim melalui kargo di awal Maret lalu. Pukul empat (WIB), barang-barangku telah siap. Beruntung, Refina teman sekosku empat
tahun bersedia membantu. Segera kami pesan sebuah armada taxi online untuk menjemput. Tanpa waktu
lama, kendaraan itu telah terparkir di jalan depan gang kos-kosan kami. Setelah
berpamitan dengan adik-adik kos, kami resmi meninggalkan kos-kosan yang kami
namai Kos PH (Pak Hamid) itu. Kepergian yang tidak biasa karena kali ini kami
tidak membawa serta kunci kos bersama kami. Pukul 04.15 kami pun bertolak
menuju Bandara Soekarno Hatta untuk menuju ke daerah penempatan masing-masing.
Aku ke Majene, Sulawesi Barat dan Refina ke Soppeng, Sulawesi Selatan.
Sesampainya di bandara, aku langsung menuju ke
Gate 3 Terminal 3 Ultimate. Keadaannya kala itu sudah jauh lebih baik ketimbang
keadaan 2,5 tahun lalu ketika aku dan teman-teman “main” kesana untuk keperluan
Seminar Nasional mengenai hasil Praktik Kerja Lapangan kami. Usai subuh, aku
langsung check in dan menghampiri
rombongan Sulbar yang sudah datang lebih awal. Alhamdulillah bagasiku hanya
20,5 kg setelah aku ikhlaskan beberapa barang untuk tetap tinggal di kos. Tak
butuh waktu lama, kami langsung menuju ke Gate 19, tempat kami akan bertolak meninggalkan
zona nyaman kami selama empat setengah tahun terakhir. Raut wajah antusias dan sedih aku temukan di pagi
itu. Peluk serta salam
mewarnai perjumpaan terakhir kami sebelum kami diterbangkan ke wilayah kerja
masing-masing. Menuju tempat pengabdian yang sesungguhnya. Menuju dunia baru
yang entah bagaimana wujudnya.
Pagi itu, aku tengah berjalan-jalan ke gate
paling ujung yaitu gate 28, dan seketika panggilan untuk boarding datang. Aku pun tergopoh-gopoh untuk kembali ke gate
semula hingga kutemukan bahwa beberapa teman-teman penempatan Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah dan tentu saja Sulawesi Barat masih mengantri untuk masuk ke
badan pesawat. “Fiuhhhhh..”, aku membatin. Dengan eloknya langsung kutarik
koper mungilku untuk ikut masuk ke pesawat dan seorang petugas menahan
langkahku. Katanya koperku terlalu besar untuk masuk kabin! Setelah
bernegosiasi, akupun mau akhirnya untuk membagasikan koper itu soalnya gak ada
biaya tambahan hihihiii. Makasi ya Garuda!
Sebelum pesawat take off, aku sempatkan untuk
menelepon mama dan papa. Ternyata
suara papa yang ada di seberang. “Pah, aku pamit ya. Doain aku ya.” Sampai di kalimat terakhir, suaraku
sudah bergetar. Air mataku jatuh berlinang di saat orang-orang berlalu lalang.
Ah, kenapa harus menangis di saat-saat seperti ini, pikirku. Sementara di seberang, kudengar suara papa
juga mulai bergetar. Pengeras suara tahu bahwa momen ini harus segera disudahi
karena pesawat harus segera tinggal landas. Aku mengucap salam dan menutup
telepon dengan mata yang sudah sembab dan pipi yang masih basah. “Papa, kuberangkat dulu ke tanah
rantauku selanjutnya. Sehat-sehat
ya disana. Doakan
rezekiku lancar agar aku bisa sering-sering pulang tengok papa-mama disana”,
batinku dalam hati.
![]() |
Tim 55 for Sulbar siap mengabdi! |
1 komentar