Mengecap Syukur yang Tak Terukur

07.19

Pagi itu, di perjalanan menuju ke kantor aku sempatkan untuk mengecek ponsel terlebih dahulu. Maklum saja, semenjak jadi anak kantoran aku mudah sekali tepar hihii. Biasanya hanya mampu bertahan beberapa jam saja ba'da isya, sembari chit-chat di beberapa grup atau membalas pesan yang belum kujawab selama berada di kantor. Ya, orangnya sih gampang terdistraksi hehe. Jadi, kadang memilih untuk tidak membalas langsung pesan yang tidak berkaitan dengan urusan pekerjaan selama bukan yang urgent. 

Aku buka sebuah ruang percakapan itu. Rupanya, semalam ada diskusi yang cukup seru disana. Ya, apalagi kalau bukan soal penempatan. Sebuah kata yang mendadak jadi populer dan setiap orang terutama yang satu angkatan denganku, selalu penasaran dan ingin tahu lebih dahulu apapun berita tentangnya. Tidak jarang banyak kabar burung beredar tentangnya. Kebanyakan ada benarnya juga tapi hihi...

Malam itu, dua orang kakak tingkat kami undang untuk masuk ke grup yang berisi kami-kami, lulusan bau kencur yang siap-siap menunggu kapan akan ditempatkan di daerah masing-masing. Aku baca satu persatu percakapan yang didominasi oleh beberapa orang di dalamnya.

" Kak, kita itu sebenernya grade berapa sih?", salah seorang teman bertanya.

" Kalo masih ada C-nya ya segitu", seorang kakak tingkat yang kami undang merujuk pada sebuah gambar yang ia kirimkan. Gambar itu sudah ia beri lingkaran merah. Bukan untuk membuat kami gagal fokus layaknya gambar-gambar tak bermutu yang kini marak berseliweran di media sosial, tetapi untuk memberi tanda berapa grade kami saat ini dan berapa tunjangan yang akan diperoleh nanti.

"Yaaah, segitu doang??!", salah seorang teman menyahut.

"Ya, iyaa, memang mau berapa, kan masih ada C-nya wkwkw", salah seorang kakak tingkat turut menimpali.

Aku menarik napas dalam-dalam. Pikiranku melayang. Apakah mampu aku bertahan di tanah rantauan dengan bermodalkan apa yang ada tanpa harus meminta lagi pada orangtua?
Seketika lamunanku buyar tatkala bus transjakarta berhenti sejenak di Halte Matraman 1. Halte yang membuatku bisa melongok keluar melihat kemacetan Jakarta di pagi buta.

Kulihat seorang perempuan berpakaian lusuh, tubuhnya kurus, rambutnya yang agak berantakan ia ikat ke belakang. Tangannya menjajakkan beberapa eksemplar koran hari ini. Koran yang biasanya dengan mudahnya aku baca di ruangan aku bekerja. Raut wajahnya sembunyikan sendunya pagi itu. Namun ia tetap berjualan sebagaimana mestinya. Tak ada satupun pengemudi yang indahkan keberadaannya. Padahal betapa berisikonya berada di antara kendaraan roda empat dan roda dua di ruas jalan paling padat yang kutemui di antara jalan-jalan menuju ke kantor setiap pagi. Mustahil jika keberadaannya tak terlihat. Padahal jelas, ia bukanlah peminta-minta.

Kuhela napasku. Kusandarkan bahuku pada pintu bus sebelah kiri yang tak akan terbuka hingga kutiba. Pikirku kembali melayang. Betapa banyaknya kuingkari nikmat-Nya. Tanpa berpikir untuk menghitung seluas apa rahmat yang telah Ia beri padaku. Semoga iman ini terus terpatri dimanapun kelak kuberada. Semoga Ia selalu mudahkan lisan dan hatiku untuk selalu mengingat-Nya dimanapun dan kapanpun. Terimakasih Ya Rabb, pagi ini Kau tunjukkan padaku bahwa aku masih jauh lebih beruntung. Tidak seharusnya aku meragukan rezeki yang kau beri. Pagi itu doaku mengangkasa. Mencoba merapal doa bagi mereka yang tak pernah berputus atas rahmat-Nya, mendoakan mereka yang selalu yakin bahwa rezeki-Nya tak akan tertukar. Mendoakan mereka yang memberiku banyak makna. Terimakasih, Ibukota, untuk semua pelajarannya. 

You Might Also Like

0 komentar

Entri Populer

Instagram Images

Entri Populer

Subscribe